Perjalanan Panjang Memasukkan Anak ke Sekolah Berasrama (Bagian 1)
Mengapa saya sebut perjalanan panjang? Karena sesungguhnya
ketika saya dan suami memutuskan akan menyekolahkan si sulung di sekolah
berasrama benar-benar merupakan proses yang sangat panjang dan penuh
kebimbangan maju-mundur cantik.
Gimana nggak, kami sudah mulai memikirkan hal itu sejak si
bocah masih duduk di kelas 4. Ide awalnya tentu saja berasal dari saya.
Maklum saya emang rada visioner dan mikir panjang banget kalau urusan
bocah-bocah. Waktu itu sebenernya belum punya pertimbangan matang, belum berani
bicara serius juga sama suami. Dan benar saja, ketika saya mengajukan wacana
memasukkan si bocah ke pesantren atau sekolah berasrama, respon pertama suami
adalah TIDAK SETUJU.
Alasannya sebetulnya sangat masuk akal, suami sangat kuatir
waktu bersama si sulung akan sangat sedikit. Mengingat kami memang cukup lama bangeeet
menjalani long distance marriage karena alasan pekerjaan. Ya sudah saya
juga hanya berani memberi wacana dan alasan kenapa ingin memasukkan si sulung
ke pesantren, setidaknya itu akan jadi bahan pemikiran si bapak.
Apa yang Harus
disiapkan?
Paling utama menurut saya adalah kesiapan mental si anak. Saya
sebetulnya sangat terinspirasi oleh cerita seorang teman yang cerita tentang
temannya yang lain kalau temannya itu memasukkan semua anak-anaknya ke
pesantren, laki-laki dan perempuan. Pertanyaan saya saat itu..trus anaknya mau?
Lalu dijawab, si ibu (temannya teman ini) punya cara yang menurut saya brilian,
tentang mempersiapkan anak-anaknya ke pesantren. Ibu ini bilang sama
anak-anaknya jauh-jauh hari sebelum ia menyampaikan niat mau mendaftarkan
anaknya ke pesantren, kalau “pesantren itu istimewa, tidak semua anak BISA
masuk pesantren”...lanjutnya lagi..”Cuma anak-anak istimewa yang masuk
pesantren, kalau sekolah umum sih semua orang juga bisa”.
Nah, dari situ lah saya jadi punya pegangan mempersiapkan si
bocah untuk masuk pesantren. Sejujurnya saya sampaikan kalimat yang sama kepada
si bocah saat dia masih duduk di kelas 3 atau 4. Jadi kalau ada pertanyaan terkadang
berbau sindiran yang menanyakan masuk pesantren itu paksaan dari orang tua
atau keinginan si bocah sendiri, saya tidak bisa jawab segamblang iya atau
tidak. Saya dan suami mempersiapkan mental si bocah jauh-jauh hari, bahkan selama
2 tahun sebelumnya. Kami membicarakannya sambil lalu, kadang sedikit serius,
kadang membicarakan wacana masuk sekolah umum, kadang kami lupakan sama sekali
untuk beberapa saat agar si bocah tidak merasa tersudut atau dipaksa setuju. Kuncinya:
PERLAHAN dan SABAR.
Persiapan Berikutnya
Setelah menanamkan wacana tentang pesantren, tahun
berikutnya saya dan suami mulai browsing-browsing pesantren yang akan jadi
pilihan. Waktu itu, saya sangat ingin memasukkan si anak ke pesantren Gontor di
Jawa Timur. Sepertinya Gontor adalah pesantren impian dan ideal semua orang
tua. Lulusannya, prestasinya, biaya yang terjangkau, prestisenya semua
jadi pertimbangan yang mendorong saya ingin memasukkan si bocah ke Gontor. Saya
ulangi...keinginan SAYA loh ya, bukan bapaknya hehehe (*istrinya ambisius soal
pendidikan ).
Tapi seiring waktu, saya lebih menerima opini suami bahwa ia
tidak ingin menjadikan si bocah hanya fokus mendalami agama saja. Ia justru
ingin si bocah bisa terasah potensi akademisnya karena memang justru disitulah sebetulnya
kelebihan si sulung ini (*psikolog macam apa ibunya sampai lupa potensi anaknya
sendiri hahaha). Akhirnya saya mencoret Gontor dari pilihan..dan sekarang
bersyukur banget gak masukin si sulung ke Gontor karena bisa-bisa saya bawa
pulang lagi itu anak karena ternyata mental saya yang gak sekuat itu jauh dari
anak hahahahaa. Nanti saya ceritakan fase melow-drama-menangis berhari-hari
mamaknya ini yaa hihihi.
Ada beberapa pilihan pesantren dan sekolah berasrama yang
direkomendasikan teman-teman dan hasil browsing sendiri. Karena tinggal di
Tangerang Selatan, maka pertimbangan saya adalah yang tetap terjangkau
berkendara tidak terlalu lama, paling jauh Sukabumi lah. Kalau tidak salah
waktu itu saya dan suami sempat mencari informasi tentang beberapa sekolah
seperti Pesantren Al-Ihya Bogor,Insan Cendekia Madani Serpong, Al-Binaa di
Karawang, Al-Bayan Sukabumi, Nurul Fikri Lembang, Nurul Fikri Serang,
Al-Kautsar Sukabumi, dan lainnya. Justru Assyifa Boarding School yang sekarang
jadi sekolah si sulung adalah sekolah terakhir yang kami dapat informasinya.
Selama satu tahun terakhir, yaitu sejak si bocah kelas 5
kami betul-betul mencari informasi tentang pilihan sekolah yang sejujurnya
bikin pening kepala. Tidak jarang kami masih ragu dengan keputusan mencari
pesantren atau sekolah berasrama, mungkin lebih enak kalau si bocah masuk
sekolah umum saja, setidaknya masuk SMPN favorit lah. Tapi bukannya kami
menghalangi si bocah untuk punya pilihan di sekolah lain, kami tetap
membolehkan ia nantinya kalau ingin masuk SMPN, tapi kami membatasi pilihan
sekolahnya, hanya SMPN yang kami tahu sejarah prestasinya saja, kalau sekolah
swasta kami sudah eliminir sejak awal, tidak ada opsi masuk sekolah umum swasta
lagi dan si bocah cukup bisa menerima pilihannya waktu itu.
Comments
Post a Comment